Ujian Untuk Si (Calon) Apoteker

20150304_095115[1] sebagian bundelan yang saya bawa untuk mengikuti ujian

Bismillahirrahmaanirrahiim…

Setiap kita pasti pernah menjalani sebuah ujian, baik secara harfiah, maupun yang tersirat di balik peristiwa hidup yang kita alami. Bagi sebagian orang, ujian merupakan ajang untuk menilai siapa yang pantas naik kelas di dalam kehidupan ini. Bagi para mahasiswa program profesi apa pun, ujian merupakan salah satu cara untuk menilai kompetensi dan kesiapan mereka sebagai profesional yang akan menerapkan ilmunya di lapangan kelak. Selain kompetensi akademis dan soft skill, etika profesi merupakan salah satu komponen yang dianggap penting untuk dinilai, mengingat profesi selalu bernaung di bawah organisasi tertentu yang memiliki kode etik profesi tersendiri.

Memangnya apoteker ada ujiannya juga?

Tentu saja ada karena apoteker merupakan salah satu profesi yang diakui di Indonesia. Ujian yang mengakhiri proses pendidikan profesi apoteker sering dinamakan dengan ujian komprehensif atau ujian negara apoteker. Di Fakultas Farmasi Universitas Andalas, kami sering menyebutnya dengan ujian apoteker saja.

Ujian ini seringkali dianggap momok yang menakutkan oleh para mahasiswa program studi profesi apoteker (PSPA), bahkan lebih horor daripada ujian sidang skripsi. Pasalnya, pada ujian skripsi, umumnya mahasiswa ditanya mengenai bidang penelitiannya. Selama yang bersangkutan memahami penelitiannya dengan baik dan tidak melakukan tindakan plagiarisme, maka biasanya ia akan lulus. Namun, pada ujian apoteker, ceritanya lain. Mahasiswa PSPA yang terlihat cemerlang mungkin bisa gagal hanya karena satu atau dua pertanyaan dasar yang tidak bisa dijawab, entah karena gugup atau benar-benar lupa.

Dari sekitar seratusan mahasiswa PSPA angkatan saya, ada lebih dari sepuluh orang yang tidak lulus. Kalau tidak lulus, berarti harus mengulang di periode berikutnya (dan itu harus membayar lagi, tentunya).

Sistem ujiannya bagaimana?

Sistem ujian apoteker bisa saja berbeda di setiap institusi. Di kampus saya, sistemnya mirip ujian sidang, dengan lima orang penguji dan satu orang peserta ujian duduk di dalam ruang tertutup. Sistem ini merupakan pembaharuan dari sistem sebelumnya, di mana para calon apoteker ini harus membuat jurnal (semacam rancangan sebelum proses produksi) sediaan obat. Bukan hanya jurnalnya, mereka juga harus membuat sediaannya. Kalau sediaannya gagal atau tidak memenuhi persyaratan, alamat tidak lulus. Lima orang penguji ini memiliki peran yang berbeda, dengan rincian sebagai berikut:

  • Satu orang ketua penguji, memimpin jalannya ujian dan memberikan pertanyaan yang bersifat umum.
  • Satu orang penguji bidang apotek, menilai pemahaman mahasiswa terkait praktek kerja profesi apoteker (PKPA) bidang apotek.
  • Satu orang penguji bidang rumah sakit, menilai pemahaman mahasiswa terkait PKPA bidang rumah sakit.
  • Satu orang penguji bidang industri/pemerintahan, menilai pemahaman mahasiswa terkait PKPA industri/pemerintahan.
  • Satu orang penguji bidang sains farmasi, menilai pemahaman mahasiswa terkait ilmu dasar farmasi.

Apa yang harus disiapkan menjelang ujian?

Seminggu sebelum ujian, para mahasiswa PSPA akan dikumpulkan untuk menerima pengarahan, menyerahkan resume PKPA sebagai syarat ujian, dan mencabut nomor lot ujian. Nomor lot ujian ini akan menentukan jadwal, lokasi ruangan, dan tim penguji. Yang membuat ujian ini semakin menegangkan adalah mahasiswa tidak akan tahu siapa yang mengujinya hingga saat ujian hendak dimulai. Syukur-syukur dosen yang baik hati dan mau mengarahkan saat otak tiba-tiba mogok untuk berpikir. Nah, bila yang menguji adalah dosen yang auranya mengintimidasi, belum satu menit duduk di ruangan, rasanya sudah mau pingsan.

Makanya saya dan teman-teman kala itu, selain mempersiapkan materi ujian, juga membekali diri dengan contoh-contoh pertanyaan yang sering diujikan pada periode sebelumnya. Biasanya masing-masing dosen memiliki preferensi tertentu dalam bertanya. Bahkan pertanyaan tertentu hampir selalu muncul setiap ujian.

Katanya ujian apoteker horor. Memangnya sehoror apa, sih?

Layaknya ujian sidang skripsi (atau tugas akhir lainnya), mahasiswa PSPA tidak datang dengan tangan kosong saat hari-H. Bukan, bukan membawa oleh-oleh maksudnya, nanti dikira gratifikasi atau sogokan melainkan membawa bundelan logbook dan laporan PKPA serta jurnal analisis resep yang tebalnya bukan main. Bahan-bahan ini lah yang nantinya merupakan bekal bagi penguji untuk melayangkan pertanyaan. Bila ada yang janggal di dalamnya, peserta ujian akan terus ‘diserang’ dengan pertanyaan sampai yang bersangkutan menyerah.

Karena itu, seyogianya para mahasiswa PSPA membuat logbook, laporan, dan jurnal resep yang bisa dipahami dan dipertanggungjawabkan. Jangan karena ingin terkesan keren, lalu membuat laporan yang bertabur aneka istilah yang dia sendiri belum tentu paham. Khusus untuk penguji bidang sains farmasi, pertanyaan yang diutarakan biasanya masih terkait dengan praktik profesi, misalnya seputar obat tradisional, penentuan kadar obat, kandungan kimia tumbuhan obat, dan sebagainya.

Satu hal lagi yang membuat momen ujian ini semakin spektakuler adalah para penguji bisa saja saling menimpali atau menanggapi jawaban mahasiswa. Misalnya, penguji bidang apotek menanyakan obat-obat yang termasuk golongan narkotika. Mahasiswa menjawab, morfin. Lalu, penguji bidang sains menanyakan pengetahuan mahasiswa seputar morfin, mulai dari sumbernya, sampai cara identifikas kandungan kimianya. Nanti, mungkin saja penguji bidang pemerintahan ikut nimbrung dengan menanyakan cara pelaporan narkotika di puskesmas, dan seterusnya. Rantai pertanyaan ini baru akan berakhir saat mahasiswa menyerah seraya mengibarkan bendera putih.

Pengalaman ujian apoteker saya

Ujian apoteker yang saya alami pada Juli 2013 lalu sebenarnya tidak jauh dari kekurangan. Ya, saya bukan mahasiswa jenius yang bisa mengingat semua materi yang diberikan selama pendidikan profesi apoteker. Saya juga bukan mahasiswa dengan kepercayaan diri selangit, yang tetap stay cool meskipun diserang pertanyaan bertubi-tubi. Ada pertanyaan yang membuat saya mau menangis rasanya karena tidak bisa menjawab. Bukan karena tidak bisa menjawab, sebenarnya, melainkan karena malu dengan dosen saya dan kesal dengan diri saya sendiri. Bila pertanyaan itu saja tidak bisa dijawab, bagaimana saya bisa dinyatakan siap menjadi apoteker? Yang lebih menyebalkannya, saat keluar dari ruang ujian, seketika saya ingat jawaban-jawaban untuk pertanyaan itu. Coba saja saya bisa menjawabnya dengan lebih baik saat ujian. Namun, mau bagaimana lagi, singkong sudah menjadi getuk. (Nah, lho, peribahasa macam apa ini?).

Saya menjalani PKPA di apotek, rumah sakit, dan pemerintahan, tepatnya di dinas kesehatan. Maka, pertanyaan-pertanyaan seputar tempat PKPA itulah yang diajukan oleh para penguji. Misalnya, apa yang dilakukan selama PKPA? Bagaimana cara mendirikan apotek? Kenapa pada kasus demam tifoid anak digunakan antibiotik X? Bagaimana peran apoteker di bidang pemerintahan: berada di bidang apakah apoteker bertugas? Dan banyak lagi karena ujiannya berlangsung selama satu setengah jam.

Meskipun tidak bisa mengingat seluruh pertanyaan dengan detil, salah satu pertanyaan yang membekas pada diri saya waktu itu adalah masalah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bayangkan saja, pertanyaan itu diberikan oleh ketua penguji untuk mengawali sesi ujian. Belum apa-apa sudah terlihat bahwa wawasan saya kurang luas. Padahal, meskipun terlihat seolah-olah bukan hal yang perlu diketahui calon apoteker, IPM  memiliki beberapa parameter, salah satunya adalah harapan hidup. Harapan hidup, kan tidak jauh-jauh dari kondisi kesehatan seseorang. Bila banyak penduduk yang menderita penyakit, maka harapan hidup bisa menurun. Selama masih ada penyakit di dunia ini, selama itu pulalah obat dibutuhkan. Selama obat masih dibutuhkan, selama itu pulalah apoteker bisa memegang peranan penting dalam dunia kesehatan.

Oya, terima kasih kepada Bli Gara atas sumbangan idenya di postingan saya yang ini. Saya hampir tidak kepikiran untuk menulis seputar ujian PSPA ini karena tidak mau mengingat-ingat pengalaman ujian saya yang jauh dari menyenangkan meski sangat berkesan.

14 thoughts on “Ujian Untuk Si (Calon) Apoteker

Add yours

  1. Saya salut dengan orang-orang yang bisa lulus dengan ujian ini. Gila ini horor habis… dan kamu bisa melewati ini. Keren banget.

    Dulu saya sebenarnya hampir masuk fakultas farmasi Mi, sebelum balik kanan angkat kaki dari sana gara-gara pilihan lain :hehe :peace. Nah, teman-teman saya yang ada di sana (termasuk yang sekarang sedang PKPA) selalu bilang ujian apoteker itu horor sehoror-horornya. Saya jadi penasaran, hehe… :malu.

    Terima kasih untuk postingan yang sangat informatif ini ya, Mi. Saya yakin orang-orang yang sudah lulus dari ujian ini adalah orang-orang yang hebat, paham akan ilmunya, dan tidak perlu kita ragukan lagi kemampuannya. Joss.

    Liked by 2 people

    1. Wah, aku nggak nyangka Bli Gara hampir masuk fakultas farmasi. Nggak jadi teman sejawat dong, ya? :D. Udah takdirnya berarti 🙂

      Sama-sama, Bli Gara. Senang bisa berbagi info dan cerita juga melalui tulisan ini. Sampai nggak sadar jumlah katanya lebih dari 1000 :D. Dan…aku jadi malu, nih, karena kapasitasku belum optimal. Semoga memang demikian kenyataannya, Bli :). *semangat untuk terus meningkatkan kualitas diri*

      Like

      1. Ya, mungkin sudah takdirnya 🙂
        Tidak apa-apa kalau jumlah katanya lebih dari 1000, Mi. Berapa pun, kalau seandainya mengalir dan enak dibaca seperti ini, jarang akan ada yang bosan.
        Yuk, sama-sama meningkatkan kualitas diri.

        Liked by 1 person

    1. Jangan talut, pokoknya doa, usaha maksimal, trus tawakal, insya Allah bisa. Saya juga takut awalnya, tap7 begitu selesai jadinya lega 🙂

      Makasih ya sufah mampir 🙂

      Like

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑