Generalis versus Spesialis [Bagian 1]

generalist and specialist

Bagian 1: Saya ingin begini, saya ingin begitu

Bismillahirrahmanirrahim…

Mungkin sebagian dari Anda pernah merisaukan hal ini. Ada yang telah menemukan passion-nya di bidang tertentu kemudian menekuninya tanpa terdistraksi dengan hal-hal lainnya. Ia membangun pengetahuan dan keahliannya terkait hal itu perlahan-lahan, menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sebelum akhirnya menjadi ahli dan diakui karena keahliannya itu. Namun, ada pula yang memiliki minat terhadap beberapa bidang sekaligus. Berkecimpung di laboratorium kimia, tetapi senang sejarah dan sastra, misalnya? Atau sehari-harinya bekerja di bank tetapi juga mengerti soal politik dan hukum? Nah, selain kedua golongan itu, ada pula yang mengetahui banyak hal dan ingin banting setir menjadi spesialis. Mereka mungkin tidak terlalu nyaman dengan sebutan jack of all trades, master of none. Tidak puas menjadi biasa-biasa saja, kemudian ingin menjadi luar biasa. Mengingat waktu dan kesempatan yang terbatas, tidak ada cara lain selain memilih satu bidang saja untuk dikuasai. Lagipula, bukankah spesialis banyak dicari? Bukan hanya itu, spesialis juga banyak menghasilkan uang, bukan?

Bukan hanya kerisauan Anda, tetapi juga kerisauan saya

Saya pernah (dan sepertinya masih, sampai sekarang) memikirkan bidang apa yang harus saya geluti, terutama setelah mengikuti acara seminar yang diadakan kampus saya tahun lalu. Banyak pakar yang diundang dari luar dan dalam negeri, yang membuat saya berpikir: saya harus cepat memutuskan bidang yang akan saya tekuni sampai taraf ahli. Kalau perlu yang sangat spesifik sehingga tidak harus tumpang tindih dengan orang lain. Mungkin karena saya agak terobsesi dengan keunikan, makanya saya sampai berpikir seperti itu.

Waktu itu, saya berencana ingin menekuni bidang Farmasi Sosial. Bidang ini tidak terlalu banyak pesaing, terutama di kampus saya. Mungkin kedengarannya aneh, farmasi tetapi sosial, sosial tetapi farmasi. Bukannya farmasi itu jurusan eksakta? Kok malah tertarik ke isu sosial? Penjelasannya adalah karena farmasi tidak hanya melulu soal laboratorium, pengukuran zat yang akurat, dan senyawa-senyawa kimia, melainkan juga terkait dengan manusia sebagai pengguna sediaan farmasi. Misalnya, ada seorang pasien yang terlambat menebus antibiotik lanjutan untuk penyakit yang dideritanya. Masalah itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan kalimat, “Pak, kalau tidak minum obat, nanti kumannya kebal. Kalau kumannya kebal, Bapak tidak sembuh-sembuh.” Mungkin saja pasien itu menghadapi masalah ekonomi yang memaksanya untuk tidak menebus resep sesuai jadwal. Mungkin juga beliau menghadapi masalah keluarga, kurang dukungan dari pasangan hidup, dan sebagainya. Nah, sumber masalah seperti itu hanya bisa dianalisis dan dipecahkan dengan pendekatan ilmu sosial.

Masalahnya, bidang ini sebenarnya juga baru bagi saya dan mau tidak mau saya harus mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya untuk menekuni bidang itu selama jangka waktu tertentu untuk menjadi seorang ahli. Tidak cukup sampai di situ, menjadi seorang ahli berarti saya harus siap dengan isu-isu yang pelik, yang tidak bisa dipecahkan oleh rekan-rekan yang belum mendalami bidang itu.

Ya sudah, tinggal pilih, ‘kan? Gitu aja kok repot?

Tidak semudah itu. Bagi saya pribadi, sulit untuk hanya menekuni satu minat dalam hidup saya dan mengabaikan minat-minat lainnya. Misalnya, selain (harusnya) mengerti farmasi, saya juga tertarik dengan bahasa, pengembangan diri, kuliner (ya, kuliner bukan hanya soal makan), dan bidang-bidang lainnya. Lagipula, kalau hanya mengerti bidang keilmuan saya, rasanya hidup menjadi membosankan. Bukan hanya itu, mungkin saya juga akan menjadi teman bicara yang membosankan. Tidak lucu kalau saya sedang bertemu dengan narablog lain, lalu yang saya bicarakan hanya resistensi antibiotik dan pengembangan obat kemoterapi terbaru. Sebaliknya, dengan mengerti bidang-bidang lain, saya bisa menemukan teman bicara yang lebih banyak dan beragam. Saya pun bisa lebih terbuka dengan pendapat orang lain yang berasal dari bidang berbeda karena setidaknya saya tahu dan familiar dengan bidang tersebut.

Yang lebih penting lagi, terfokus hanya pada satu bidang kurang sesuai dengan cara berpikir saya yang lompat-lompat (?) dan bisa melintasi berbagai topik. Misalnya, saya sedang berada di pasar, melihat terung yang berwarna ungu mengkilap. Kemudian, saya mulai berpikir macam-macam. Kenapa dinamakan terung? Kenapa bahasa Inggrisnya eggplant? Memang ada hubungannya dengan telur? Nama latinnya apa? Oya, Solanum melongena. Terung ini kalau digoreng kok baunya khas, ya? Kenapa saat mentah keras, tetapi setelah dimasak menjadi sangat lembek?

Nah, kadang rantai berpikir itu baru terputus bila saya melihat objek lain, misalnya tahu atau ikan :D.

Aduh, dari tadi curhat terus, mana penjelasan soal generalis dan spesialisnya?

Maaf karena tadi hanya membahas soal diri saya. Sebenarnya, saya sudah membaca beberapa sumber untuk bisa membahas kelebihan dan kekurangan dari masing-masingnya, tetapi butuh waktu untuk menganalisis dan membuat tulisan yang rapi dan sistematis mengenai hal itu. Jadi, anggap saja ini sebagai tulisan pendahuluan.

Apakah ada tanggapan dari pembaca sekalian terkait topik ini? Siapa tahu bisa memperkaya bagian selanjutnya.

31 thoughts on “Generalis versus Spesialis [Bagian 1]

Add yours

    1. Sepertinya begitu, Mbak Ziza (padahal tadi sama sekali nggak kepikiran tulisannya Mas Andik juga)
      Toss, Mbak. Aku juga gitu, dan sekarang jadi menyesal karena nggak total mendalami sesuatu.

      Liked by 1 person

  1. Dulu saya percaya bahwa kemampuan saya cuma bisa di satu bidang. Bidang di mana saya harus jadi nomor satu, karena saya merasa diri tak bisa di bidang lain.
    Itu dulu, karena sekarang saya semacam dapat pencerahan kalau kemampuan manusia itu sebenarnya tidak terbatas. Saya bisa jadi apa yang saya mau. Yang membatasi kemampuan itu cuma kemauan, dan usaha, apakah sesuai dengan reaksi yang kita inginkan atau tidak. Dunia ini kata orang adalah hukum aksi reaksi sih Mi, apa yang kita inginkan mesti sebanding dengan usaha yang kita lakukan. Sigma F = 0. Hehehe.

    Liked by 1 person

    1. Can’t agree more! 🙂
      Aku pernah juga berpikiran seperti itu, dan sepertinya sayang sekali harus membatasi kemampuan diri, padahal ilmuwan zaman dulu bisa menguasai berbagai bidang dan mereka nggak sekadar tahu, tetapi juga ahli. 🙂

      Like

      1. Mempunyai keahlian khusus kayaknya bukan termasuk membatasi kemampuan diri. Jika kita punya value lebih dibandingkan orang lain, kemungkinan besar kita akan tetap bisa bertahan. 🙂

        Liked by 1 person

      2. Yup. Kemarin aku baca tulisan ttg fenomena freelancer yang saat ini kayaknya lagi booming. Setiap orang ingin jadi freelancer (termasuk aku). Nah, tapi karena kuantitas yang ingin jadi freelancer itu banyak sedangkan lahan pekerjaan ya itu-itu aja maka para pencari freelancer benar-benar butuh tenaga yang unik dan spesialis. Gak cuma yang biasa-biasa aja. Wosha!

        Liked by 1 person

  2. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”,
    “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”,
    “Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”,
    “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.

    Kayaknya berhubungan deh… *belajar mode on*

    Liked by 1 person

  3. menurut saya kedua-duanya sama baiknya. warna di dunia akan berkurang bila semuanya “specialist”, atau “generalist”. memang harus seimbang, bukankah manusia tidak boleh berlebih-lebihan? 🙂 . apapun pilihannya, insya Allah bisa membawa kebaikan. kalau boleh saya tambahkan (mungkin tidak terlalu berhubungan), hal yang juga penting bagi keduanya adalah kemampuan beradaptasi supaya bisa tetap maju apapun yang terjadi
    #menanti #kisah #berikutnya

    Like

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑