RI70

image

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

Tujuh puluh tahun, itulah usia republik ini sekarang. Dari angka, mungkin tak ada bedanya dengan tujuh puluh tahun usia manusia. Namun, bagi negeri ini, kurva lonceng tak selalu berlaku (dan seharusnya tidak). Bila kekuatan manusia berawal dari titik nol saat baru lahir, lalu bertambah seiring usia, tiba pada titik puncak saat dewasa, kemudian berangsur-angsur turun saat menua, Indonesia tidak harus demikian. Negeri ini bisa lebih kuat dan lebih bertenaga seiring bertambahnya usia dan pengalaman. Nyatanya, di mata saya, negeri ini tidak berada dalam kondisi terbaiknya. Dibandingkan beberapa tahun lalu, ada penurunan di sana sini yang tidak bisa saya jelaskan.

Bila masa di dunia ini diibaratkan lintasan lari maraton, dengan berbagai negara sebagai pesertanya, Indonesia bukan yang larinya paling cepat, bukan pula yang paling lambat. Namun, lajunya cukup lambat untuk bisa disalip dengan mudah. Negeri ini berlari dengan susah payah, dengan napas terengah-engah. Membawa tas berisi perbekalan yang cukup banyak, tetapi sedikit sekali yang bisa dimakan dan diminum. Sisanya batu, pasir, arang, kayu kering, dan entah apa lagi yang hanya bisa menambah berat beban. Jalur lintasan yang tidak rata pun semakin mempersulit keadaan.

Ah, mungkin Indonesia ingin sekali melepas penat. Duduk santai sambil mengipas-ngipasi diri dengan koran. Menikmati segelas teh manis hangat dan pisang goreng dengan nikmat. Biarlah ia didahului negara-negara lain, yang penting tidak menempati nomor buncit. Biarlah ia beristirahat. Tak tega kita menyuruhnya terus-terus berlari.

Namun, sampai kapan ia akan bersantai? Sementara penat itu akan senantiasa ada.

Masih jauh jarak yang harus ditempuh, sementara negeri-negeri lain semakin mendekati garis finish.

Tegakah kita membiarkan negeri ini terus-menerus didahului?

Lalu, kita bisa apa?

Sediakan perbekalan untuk negeri ini. Cukupkan ransumnya, cadangan airnya. Bawakan handuk untuknya. Siapkan obat-obatan. Rawat ia kala lututnya cedera, kakinya terluka.

Terlalu sulitkah?

Setidaknya, bantulah ia untuk mengosongkan tasnya dari benda-benda tak berguna. Jangan menambah beban di pundaknya yang mulai bungkuk. Jangan iseng untuk mengambil ransumnya dan memakannya diam-diam.

Berbarislah dengan rapi di tepi-tepi lintasan. Perlihatkan wajah yang segar dan ceria. Tersenyumlah lebar-lebar. Teriakkan dukungan untuknya.

Merdeka!

12 thoughts on “RI70

Add yours

  1. Analogi nya epic banget mi..hha, emang deh story teller handal.. kapan-kapan bikin novel beneran lagi mi… πŸ™‚

    Like

  2. Analogi soal Indonesia yang sempoyongan membawa beban berat itu keren mbak Ami. Menurut opini saya, kalau mempertimbangkan politik dan tetek bengek, Indonesia bukan membawa batu, pasir, arang, kayu kering. Indonesia membawa banyak perbekalan, tapi buat pelari lain! Atau yang lebih parah lagi, Indonesia gendong pelari lain terus pas udah lelah si pelari itu kabur duluan.

    Realita yang menyedihkan :/

    Like

    1. Terima kasih atas tanggapannya, Mas. Saya sependapat dengan analoginya. Indonesia terlalu baik (atau naif, atau dipaksa?) sampai-sampai dimanfaatkan pelari lain :(.
      Perumpamaan yang saya gunakan di sini lebih ke arah masalah-masalah yang terus bertambah di Indonesia. Walaupun Indonesia bergerak maju, yah, jalannya jadi pelaaan sekali karena masalah-masalah itu bukannya menghilangkan ‘lapar’ dan ‘haus’ malah menambah beban aja πŸ™‚

      Like

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑