My First Job

 45086lecturer

(gambar dari : http://cowthar.blogspot.com )

Bismillahirrahmaanirrahiim…

Mengenai pekerjaan, saya sempat merasa jenuh menunggu panggilan kerja.

Awalnya, saya sempat ragu antara dua pilihan: menjadi akademisi atau praktisi karena keduanya memiliki kemudahan dan kesulitannya masing-masing. Orangtua menyarankan saya untuk melamar sebagai dosen dan apoteker di rumah sakit, siapa tahu diterima di salah satunya.

Beberapa berkas lamaran saya layangkan ke beberapa institusi, tetapi tidak ada kejelasan apakah diterima atau ditolak. Akhirnya saya menunggu dan menunggu di rumah sambil mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan. Ternyata menunggu itu memang tidak enak dan menjemukan. Belum lagi pertanyaan “Sekarang dinas/kerja di mana?” dari orang-orang. Akhirnya, hanya kalimat “Sedang menunggu panggilan kerja.” yang keluar sebagai jawabannya. Padahal teman-teman seangkatan apoteker sudah banyak yang mendapat pekerjaan, sementara saya harus melewatkan dua kali periode tes CPNS karena melanjutkan studi.

Alhamdulillah, Allah menunjukkan jalan terbaik bagi saya. Setelah menunggu selama sebulan lebih sejak menerima ijazah, saya mendapatkan pekerjaan pertama saya sebagai dosen. Sementara itu, panggilan tes kerja di sebuah rumah sakit yang menyusul seminggu kemudian terpaksa tidak dipenuhi.

Menjadi dosen merupakan pekerjaan yang menyenangkan sekaligus menantang bagi saya karena mengharuskan saya untuk belajar dan mengajar; bukan sekadar berceramah di depan kelas, tetapi juga memastikan mahasiswa dapat memahami materi yang diberikan dengan baik. Oh, jangan lupakan fakta bahwa setiap dosen harus membuat rencana program kegiatan pembelajaran semester (RPKPS) berdasarkan kurikulum yang berlaku agar proses perkuliahan berjalan dengan baik dan terarah, serta tidak melantur ke mana-mana.

Senin lalu, saya mulai mengajar di sebuah akademi farmasi swasta di Bukittinggi. Status saya di sana sebagai dosen tidak tetap yang masih dalam masa training. Dari hasil pertemuan dengan direktur, saya diberikan tanggung jawab untuk mengajar mata kuliah Farmakologi II.

Jujur saja, saya deg-degan membayangkan kelas pertama saya. Bagaimana kalau kelasnya tidak kondusif? Bagaimana kalau saya mati gaya di depan kelas? Bagaimana kalau kesan pertama saya tidak terlalu baik, mengingat saya tidak terlalu ahli dalam public speaking? Belum lagi masalah usia (ups, spoiler) yang tidak terpaut jauh dengan usia mahasiswa yang akan saya ajar. Rasa gugup saat berangkat kerja pun hampir mengalahkan rasa gugup saat ujian sidang tesis.

Namun, syukurlah hal-hal buruk yang saya bayangkan tidak terjadi. Memang saat di awal saya gugup, tetapi semakin lama, saya semakin menikmati interaksi saya dengan para mahasiswa di kelas. Pelan-pelan, saya bisa merealisasikan rencana yang telah saya susun jauh-jauh hari untuk bekal mengajar. Misalnya, menyemangati mahasiswa agar lebih aktif di kelas, menghormati pendapat mereka, menyiapkan slide yang menarik, serta memberlakukan hukuman yang bersifat membangun untuk pelanggaran disiplin. Sejauh ini, mereka sepertinya sepakat dengan peraturan yang saya usulkan :).

Bila lamaran pertama saya sebagai apoteker rumah sakit langsung diterima , mungkin saya tidak akan mengalami hal-hal yang menarik yang saya rasakan Senin lalu. Mungkin saya harus tinggal terpisah dari orangtua dan harus menyisihkan sebagian gaji untuk membayar sewa kamar kos serta biaya hidup lainnya. Dan ada berbagai kemungkinan lain yang akan sangat banyak bila dihitung.

Saya memang tidak tahu berapa lama akan bertahan sebagai dosen di institusi tempat saya bekerja sekarang. Namun, selama bekerja, selama itu pulalah saya harus membiasakan diri untuk disiplin dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Selama bekerja, selama itu pulalah saya mungkin akan mengembangkan potensi baru.

Bekerja membuat saya tidak bisa lagi berlindung di balik status mahasiswa. Mahasiswa boleh salah karena meskipun menyandang kata ‘maha’, ia masih seorang ‘siswa’ yang sedang belajar. Lain halnya dengan ‘pekerja’, masa coba-salahnya dianggap telah selesai; kalaupun belum, kesalahan yang dibuat harus bisa ditoleransi dan sedapat mungkin tidak merugikan institusi.

Itu cerita saya, bagaimana dengan Anda? 🙂

(Tulisan ini dibuat sekaligus untuk berbagi pengalaman ‘save the best for the last’ yang diusulkan oleh Mas Ryan.)

29 thoughts on “My First Job

Add yours

  1. aaaamiii…aaa’oook apa kabar…?
    ciehhhh jadi dosen ami knii tuu..??
    aakk… gaa kebayangg…
    mahasiswa nyo seumuran ami tu yo? mgkn lbh tuo malah?? wkwk
    alhamdulillah kalo sukses hari pertamo nyoo
    semanggaaddd mi… hwaiting!!! ^_*

    Like

    1. Welly… long time no chat..haha. Apa kabar, wel?
      Alhamdulillah baik wel. Iyo, seumuran ami, kebanyakan lebih mudo 1 tahun.
      Makasih welly, semangat wel 🙂 🙂

      Like

  2. Wah Ami…. kau dosen ya… keren. Salut selalu dengan para dosen yang berdedikasi. Moga Ami bisa membawa para calon pemimpin masa depan dengan baik. Amin.

    Makasih loh Ami… sampai dibuatkan post khusus pula. hehehe *jadi malu*

    Pernah saya alami juga sama kamu kok. Nunggu lama, gak ada panggilan. Begitu ada barengan pula. hahaha.

    Liked by 1 person

    1. Iya, Mas Ryan… tanggung jawabnya besar dan yah, aku masih baru jadi nggak tahu bisa dibilang berdedikasi atau nggak. Semoga aku bisa mengemban amanah ini dengan baik, aamiin :).

      Sama-sama, Mas. Memang rencananya mau nulis ini, tetapi pas banget ada usulan dari Mas Ryan, jadi diarahkan ceritanya biar sesuai tema :D.

      Haha, iya, Mas. Waktu itu, aku sampai iseng cari-cari pengalaman orang yang menolak panggilan tes kerja di internet :D. Ternyata aku nggak sendirian :).

      Liked by 1 person

      1. Hahaha. Semangat Ami. Jadi keinget episode di New Girl Season 3 yang baru ditonton minggu lalu. Ceritanya, Jess dan Coach (salah satu tokoh utama) kan guru. Ikut seminar guru. Coach kan guru kesehatan. Dia awalnya itu merasa gak enak dipanggil guru. Nah di situ ketemu sama guru2 lain. Mereka tanya apa yang akan diajarkan ke murid soal sex, Coach cuma nyengir aja. Terus yang lain bilang. Itu pelajaran penting tuh. Kalau salah, semua anak akan salah jalan. Di situlah Coach baru mengerti bahwa jadi guru, guru kesehatan seperti dia, itu gak main-main. Tanggung jawabnya gede.

        Gak ada sendirian kok. Banyak yang harus menolak. Tapi saranku sih, walau menolak, harus tetep baik. Siapa tahu di masa datang bisa jalin lagi. Tul?

        Ayo semangat Ami. *perasaan dari kemarin semangat mulu*

        Liked by 1 person

      2. Yess, walaupun nggak sekrusial kalau berhadapan dengan pasien (yang kalau salah dikit aja akibatnya bisa fatal), mengajar juga harus didasari rasa tanggung jawab. Salah ajar, siswa/mahasiswanya jadi ikut salah, dan bisa kebawa sampai mereka lulus dan bekerja.

        Betul, Mas. Selama menolaknya dengan cara yang baik, nggak perlu khawatir, ya. Kalau nantinya rejekinya di sana, tidak perlu merasa bersalah juga karena kita sudah bersikap baik :).

        Siaap, semangat juga Mas Ryan :).

        Liked by 1 person

    1. Haha, iya Prita. Coba aja dulu, belum tentu salah juga kan? Kalau salah ya tinggal ngeles ‘saya kan masih mahasiswa’ *aduh, saran apaan ini?* 😀

      Like

  3. Mengajar seru ya Mi! Aku juga suka. My first job sih klo hitung yang ga official ya jadi crew linen di hotel kampus wkwkwkwkw….oia, memang mengajar menuntut kesiapan tapi aku juga ga malu *klo ga yakin/pasti* untuk bilang I’ll get back to you on that one. Dulu waktu kuliah S2 aku jadi asdos.

    Liked by 1 person

    1. Iya Mba Mikan 🙂 Apalagi kalau mahasiswanya juga antusias, rasanya seneng banget. Nggak sia-sia tenggorokan kering karena ngomong terus..haha.

      Mba Mikan ambil S2 apa? Di kampusku sayangnya nggak ada asdos, Mba, adanya asisten praktikum. Itupun aku nggak coba ambil karena jadwal kuliah full dan penelitian di luar kota.

      Liked by 1 person

      1. S2ku boring Mi…aku ambil business dengan konsentrasi project management. Sayang yaaa padahal bisa nyambi kuliah lagi mumpung di lingkungan kampus.

        Like

      2. Iya, Mba, sayang sekali 😦
        Ah, kalau menurutku itu keren, Mba Mikan *rumput tetangga selalu lebih hijau*. Aku malah ngerasa S2ku boring karena satu dan lain hal :D.

        Liked by 1 person

  4. Perjuangan selalu berbuah manis, ya. Salut dengan perjuanganmu, Mbak Ami. Sukses terus dengan dunia dosennya :). Keren sekali, jadi dosen :hehe. Saya paling kagum dengan para pengajar, soalnya dari pengajarlah orang-orang hebat ini bisa lahir :))

    Ngomong-ngomong, mengajar juga sekarang jadi side job saya, cuma saya bukan dosen, hanya pengajar bimbel tes CPNS :hehe. Soal dilema umur, :hihi, saya juga mengalami, Mbak. Kadang peserta bimbelnya sudah lebih senior, saya merasa lancang dan tidak enak :hehe. Kalau sudah begitu, saya ingat kata bapak saya yang juga seorang guru:
    “Mengajar itu bukan berarti kita serba tahu. Kita cuma kebetulan tahu lebih dulu.”

    Bebannya jadi terangkat banget kalau begitu Mbak, soalnya di antara saya dan teman-tema peserta jadi tiada beda :hehe

    Liked by 1 person

    1. Makasih, Bang Gara, semoga aku bisa jadi pengajar yang baik. Makasih juga sudah berbagi pengalamannya sebagai pengajar.

      Suka sekali dengan pesan bapaknya Bang Gara, mengingatkan bahwa menjadi guru bukan berarti menjadi superior dan tahu segala. Seniorku juga pernah berkata yang kurang lebih isinya adalah:
      “.. yang membedakan antara dosen dan mahasiswa hanya satu malam. Satu malam itu untuk mempersiapkan diri sehingga kita bisa mengajar di hadapan mereka.” 🙂

      Liked by 1 person

  5. aah… saya juga punya bayangan pengin jadi dosen ntar nanti setelah lulus dan lanjut studi. sebelumnya, selamat mengajar ya Ami. semoga jadi Bu Dosen kece. eh, tapi setelah saya baca-baca profilnya kok kamu kelahiran ’94 dan udah lulus magister aja ya? aksel gitu ya?

    Like

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑