Surau dan Silek (2017)

Poster_Film_Surau_Dan_Silek

Surau dan silek, dua hal yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap lelaki Minangkabau di masa lalu. Surau sebagai tempat beribadah sekaligus tempat berguru ilmu agama dan ilmu bermasyarakat serta silek sebagai cara untuk melindungi diri sekaligus menempa kepribadian. Dengan bekal keduanya, banyak tokoh yang berkiprah di tingkat nasional, bahkan internasional, yang lahir dari bumi Minangkabau. Namun kini surau dan silek seolah berjarak dari keseharian generasi muda Minangkabau. Banyak yang menginginkan agar keduanya kembali hadir, tetapi tak sedikit yang sangsi akibat pengaruh perubahan zaman yang demikian besar.

Adalah Adil (Muhammad Razi) dan kedua temannya, Kurip (Bintang Khairafi) dan Dayat (Bima Jousant), yang hadir membawa angin segar itu. Tidak hanya akrab di sekolah, mereka juga kawan sepergaulan di kampung, juga sama-sama belajar silek kepada mamak Adil, Rustam (Gilang Dirga). Adil sendiri merupakan anak yatim, sehingga mamaknya turut mengambil peran dalam mendidiknya.

Adil sangat ingin membanggakan ayahnya dengan menjadi anak saleh, tetapi di sisi lain, ia juga ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa ia punya sesuatu untuk dibanggakan. Hal ini dilakukannya melalui silek, sehingga boleh dikatakan Adil berambisi untuk memenangkan pertandingan silek. Namun, langkahnya tidak berjalan mulus. Saat bertanding dengan Hardi (F Barry Cheln), salah satu teman sekolahnya, Adil kalah, meskipun ia menolak untuk mengakuinya karena merasa dicurangi. Adil pun ingin membalas kekalahan itu pada pertandingan selanjutnya, dengan dukungan dari Kurip dan Dayat.

Kendati demikian, niat mereka harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Mulai dari Rustam yang memutuskan untuk merantau, cibiran orang sekampung, ejekan Hardi dan kawan-kawannya, pembuktian diri agar tidak dihina (tetapi menyebabkan Adil sering terlibat dalam pertengkaran), hingga guru silek pengganti yang begitu sulit untuk dicari sedangkan jadwal pertandingan semakin dekat. Rani (Randu Arini), teman sekolah Adil, Kurip, dan Dayat pun menawarkan diri untuk membantu. Setelah menghadapi tantangan, sang guru silek, Gaek Johar (Yusril Katil) akhirnya bersedia membantu, dengan syarat ketiganya harus mau mengikuti cara sang guru dalam belajar silek.


Film Surau dan Silek diawali dengan adegan pertandingan silek yang penuh ketegangan di sebuah arena minim cahaya. Adil dan Hardi melayangkan serangan bergantian, membela diri, mengerahkan segala kemampuan yang dipunya. Adegan berlangsung slow-mo, dengan musik latar yang turut membuat penonton ikut tegang, sampai akhirnya pertarungan itu harus berakhir dengan kekalahan Adil, tokoh utama kita pada film ini.

Setelahnya, penonton akan dimanjakan dengan pemandangan yang masih asri, jauh dari kesan hiruk-pikuk khas perkotaan. Panorama yang indah seakan menjadi latar bagi adegan-adegan film yang mengingatkan saya pada masyarakat Minangkabau yang masih komunal, berhubungan satu sama lain, alih-alih individualis seperti yang kadang ditemui di perkotaan. Setiap pemandangan di-shoot dengan baik dengan angle dan teknik yang bervariasi. Bahkan ada view yang sepertinya diambil menggunakan drone untuk mendapatkan kesan cakupan pemandangan yang lebih luas. Silakan ditonton sendiri kalau penasaran.

Berbagai karakter dalam Surau dan Silek dengan permasalahannya masing-masing menjadi miniatur kehidupan masyarakat Minangkabau, yang jika ditelaah lebih dalam, bisa dikaitkan satu sama lain dan dibandingkan dengan potret masyarakat yang bisa ditemui di sekitar kita. Misalnya, Adil yang patuh kepada ibunya, tetapi menghadapi perlawanan batin karena sering diremehkan Hardi. Kurip yang sebenarnya lebih senang belajar daripada menguasai ilmu silek. Dayat yang seakan menjadi tokoh penggembira, sekaligus menjadi penengah dan pencair suasana. Rani, gadis cilik yang cerdas dan rajin, sekaligus kritis dan idealis. Rustam, yang merasa terpicu untuk merantau di usianya yang memasuki akhir 20-an karena mendengar cerita sukses temannya, Irman (Komo Ricky). Cibia (Pras Teguh), yang gemar berkomentar nyelekit, tetapi ada benarnya juga. Gaek Johar, pensiunan dosen yang memutuskan untuk pulang kampung, beserta istrinya, Erna (Dewi Irawan), yang mempengaruhi Gaek Johar untuk mengambil sebuah keputusan besar. Untuk kesan yang realistis, hampir semua dialog dituturkan dalam bahasa Minangkabau, kecuali beberapa adegan bersituasi resmi. Ya, dialog ini dituturkan oleh hampir semua pemain dengan tingkat kefasihan yang berbeda (karena sebagian pemain memang berdarah Minang), tetapi tidak menjadi masalah besar bagi saya pribadi. Bagi penonton yang tidak atau kurang memahami bahasa Minang, disediakan subtitle dalam bahasa Indonesia yang tidak terlalu kaku (plek diambil dari bahasa Minang), tetapi fleksibel dan disesuaikan dengan gaya tutur bahasa Indonesia.

Musik latar yang mengisi film ini terasa pas dalam melengkapi setiap adegan. Selain OST Mimpi Besar yang dibawakan oleh Seventeen dan musik modern, musik tradisional Minangkabau juga turut mengisi, sehingga membuat unsur Minangkabau dalam film ini semakin terasa. Hanya saja ada beberapa momen yang membuat saya kesulitan untuk menangkap dialog antartokoh karena tumpang-tindih dengan musik latar.


Terakhir, meski film Surau dan Silek sarat dengan unsur budaya dan agama, juga kaya nilai-nilai positif seperti persahabatan dan kerja keras, tetapi saya merasakan ada pesan-pesan yang terkait erat dengan menuntut ilmu. Misalnya sebagai berikut:

Lahia silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan.

Ini merupakan salah satu petuah Gaek Johar dalam yang membekas di pikiran saya, bahkan sejak menonton trailer film ini. Dengan kalimat ini, Surau dan Silek seakan menegaskan bahwa silek yang baik bukannya melepaskan diri dari agama. Sebaliknya, silek (dan saya rasa, semua ilmu yang kita pelajari) haruslah membuat kita menyadari kebesaran Sang Pencipta.

Selain itu, saya juga menangkap pesan-pesan lain perihal menuntut ilmu ini. Entah itu ilmu yang bermanfaat sebagai bekal yang dapat dibawa hingga meninggal dunia (selain sedekah jariyah dan doa anak saleh); pentingnya meluruskan niat dalam menuntut ilmu (bukan hanya untuk menarik perhatian, sekadar melengkapi diri, apalagi untuk menjadi jagoan, melainkan untuk memenuhi perintah agama); pentingnya membebaskan cara menuntut ilmu dari unsur-unsur kesyirikan; hingga membebaskan diri dari sikap congkak, iri, dan dengki saat berhadapan dengan penuntut ilmu lain atau orang awam. Meski dalam Surau dan Silek pesan-pesan ini disampaikan dalam konteks pembelajaran silek, tetapi kesemuanya bisa diterapkan dalam proses menuntut ilmu secara umum. Bahkan mungkin bisa dijadikan inspirasi bagi para pendidik di luar sana. Karena di zaman yang semakin dinamis ini, tantangan para pendidik dalam membina generasi muda sangat besar. Semoga saja saya dan kita semua bisa mengemban amanah tersebut.


Poster diambil dari sini.

4 thoughts on “Surau dan Silek (2017)

Add yours

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑