Tour de Parahyangan (Day 2) – Last Half

Jengjengjeng… saatnya Kompetisi Konseling! Eits, tunggu, sebelum acara kompetisi simulai, ada acara Technical Meeting (yang saya sayangkan, hanya diberikan oleh panitia, harusnya juri juga terlibat). Panitia menjelaskan sistem lomba yang cukup ribet dan membuat deg-degan. Ada 6 bilik konseling untuk tingkatan beginner dan 4 bilik untuk tingkatan advanced. Peserta mengambil nomor undian untuk mengetahui giliran dan ruangan berapa yang harus ia masuki. Masing-masing peserta diberikan waktu 10 menit untuk belajar di ruang yang telah disediakan. Kemudian, setelah waktunya habis, peserta ‘dikawal’ oleh panitia hingga tiba di center barat, tempat lomba konseling diadakan. Oya, peserta dibatasi dari segala akses komunikasi elektronik dan manual, dengan kata lain, handphone disita dan tidak diperkenankan kembali ke Center Timur bila sudah selesai. Oya, tas juga diamankan oleh panitia dan panitialah yang nantinya mengembalikan kepada peserta.

Singkat cerita, saya dapat giliran pertama (puas?). Hmm, sebenarnya, hal ini sudah saya perkirakan karena firasat saya yang mengatakan demikian. Saya yang masih rada-rada bingung meninggalkan tas begitu saja dan berkumpul di tempat yang telah dipersiapkan untuk menerima penjelasan singkat.

Kemudian, kami digiring menuju ruang belajar yang sumpah dinginnya minta ampun, entah karena saya yang lebay atau grogi. Di atas meja, terhampar beberapa lembar kertas berisi soal dan buku-buku yang membantu peserta untuk menyelesaikan kasus yang diberikan. Kalau tidak salah ada ISO, MIMS, dan ada buku tebal yang tidak saya lirik sama sekali karena saya tahu hal itu sangat tidak efektif.

Kasus yang diberikan adalah seorang pasien laki-laki yang mendapatkan Clindamycin 12 kapsul (kalau tidak salah). Jadi, tugas peserta adalah mempersiapkan materi konseling yang akan diberikan kepada aktor pemeran pasien nantinya. Awalnya saya agak gugup, bahkan sampai nggak ngeh Clindamycin itu digunakan untuk obat apa. Namun, kemudian, di tengah-tengah kekacauan pikiran saya itu, muncullah sepercik inspirasi,”bukannya clindamycin itu obat jerawat ya?”. Kemudian, saya tersenyum lega dan dengan pede mampusnya yakinnya, saya membaca informasi terkait obat tersebut dan mempersiapkan materi konseling terkait jerawat.

TENG! Waktu habis, saatnya kami menuju ruang pesakitan konseling yang berada di aula center barat. Saya merasa tegang, tak ubahnya peserta kompetisi pencarian bakat yang mendapatkan giliran untuk tampil di hadapan juri. Dan memang seperti itulah kenyataannya. Saya bergegas menuju ruang A4, duduk di kursi yang telah disediakan dan berbincang singkat dengan juri. Salah satu pernyataan juri yang tak pernah saya lupakan sampai sekarang adalah,”Berani juga UNAND mengirim delegasi sebanyak itu ke sini, pakai pesawat semua.” Entah kenapa saya menganggap pernyataan itu seolah merendahkan, yah, walaupun saya tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan saya, tapi apa maksudnya coba ngomong seperti itu?

Gong berbunyi, tanda proses konseling harus segera dimulai. Kemudian, seorang ‘pasien’ laki-laki masuk ke dalam ruangan, dan di sinilah rasa gugup itu kembali menguasai. Oh, tidak, apa yang harus saya katakan? Lalu, dengan nada yang sangat canggung, saya mempersilakan ‘pasien’ itu duduk dan menanyakan keperluannya.

Belum cukup sampai di sana cobaan untuk saya. Ia menjelaskan bahwa ia ke apotek untuk menebus resep ayahnya yang diare sejak beberapa haru yang lalu. WHAT? Diare? Jadi bukannya jerawat? Dengan jawaban tersebut, konsentrasi saya semakin buyar dan saya memutuskan untuk melakukan konseling seadanya saja, yang penting selesai. Wajarlah bila proses konseling saya telah berakhir dalam waktu singkat, sebelum bunyi gong ketiga berdentang.

Saya merasa sangat kacau, dan ternyata memang demikian kenyataannya. Kedua juri berbaik hati menjelaskan hasil penilaian dan menyebutkan kekurangan saya, seperti ekspresi yang terlalu tegang, melupakan beberapa hal seperti meminta kesediaan pasien, riwayat alergi, dan penjelasan tentang dosis obat (pada saat itu, saya baru sadar bahwa saya hanya menjelaskan jadwal penggunaan obat). Bisa dijelaskan bagaimana malunya saya saat itu. Namun, tak apa, bukankah guru terbaik adalah pengalaman?

Akhirnya, saya diperbolehkan untuk meninggalkan ruangan, tetapi sialnya, peserta tidak diperbolehkan kembali, walaupun hanya untuk mengambil tas. Akhirnya, saya mengambil ponsel dan bercengkrama dengan peserta level beginner asal UNPAD yang sepertinya menghadapi masalah yang serupa dengan saya. Pada saat itu, saya merasa ada keganjilan dengan sistem soal, dimana peserta level beginner diharuskan untuk memberikan obat kepada pasien untuk tujuan swamedikasi, sehingga mereka harus menggali informasi yang lebih banyak dari pasien, sedangkan peserta level advanced diminta untuk memberikan konseling sesuai resep yang diberikan, dan itu pun obatnya hanya satu macam. Berarti, kemungkinan ‘salah obat’ pada kasus peserta beginner tetap ada, dong?

Setelah menghabiskan waktu dengan menunggu tidak jelas, bercengkrama dengan salah seorang delegasi UNAND angkatan 2009, kemudian mengelilingi gedung fakultas Farmasi ITB, gedung UKM dan berkenalan dengan urang awak* yang eksis di sana, perjalanan saya dan rekan saya itu berhenti di depan lapangan basket. Kebetulan sore itu ada pertandingan basket antar fakultas yang lumayan seru karena dimeriahkan oleh suporter. Tak berapa lama kemudian, satu persatu rekan-rekan saya menyusul, dan mereka mengalami krisis percaya diri yang sama dengan saya, padahal menurut saya, mereka berhasil melakukan konseling dengan lebih baik.

Oke, saya tak ingin berpanjang-panjang, mungkin pembaca juga sudah tidak sabar dengan pencapaian kami, apakah mahasiswa Farmasi UNAND berhasil menembus babak semifinal? Jawabannya TIDAK. Saya sempat kecewa sih, tapi tidak seberapa, lebih banyak rasa malu, karena salah seorang dosen kami juga menjadi juri pada kompetisi ini. Untungnya beliau tidak marah dan meyakinkan kami bahwa kompetisi ini tetap bermanfaat meskipun kami gagal.

Akhirnya, kami kembali ke penginapan, menutup pertemuan dengan mengudap brownies Kartika Sari (yang rasanya enak banget) pemberian dosen kami tersebut. Tidak ada lagi rasa cemas, karena saya (dan mungkin teman-teman saya) memiliki pengharapan yang sama untuk hari esok.

Yay, jalan-jalan!

Oke, sekian kelanjutan cerita TdP *yang sungguh sangat terlambat* ini. Tunggu episode selanjutnya ya, tetapi mungkin saya tidak janji akan menyuguhkan versi panjang karena kesibukan.

*urang awak : sebutan orang Minangkabau untuk menyebut sesamanya.

6 thoughts on “Tour de Parahyangan (Day 2) – Last Half

Add yours

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑